Keluarga Pemimpin Moro Tersangka Pembomban Pangkalan Udara Filipina

Polisi Filipina menyebut anggota keluarga pemimpin pejuang Moro sebagai tersangka dalam serangan bom di luar pangkalan udara pada bulan lalu, yang menewaskan dua orang dan melukai 21 lagi. Bom terkendali dari jauh itu diledakkan di luar pintu utama pangkalan Edwin Andrews di kota Zamboanga, Pilipina selatan, dan menghancurkan kantor Badan Pembangunan Antarbangsa Amerika Serikat (USAID). Sebagian besar yang tewas dan luka adalah tentara Pilipina dan keluarga mereka, yang menunggu di luar pangkalan untuk naik bus. Satu wanita penduduk tewas akibat ledakan itu. Inspektur Lurimer Detran menyebutkan tersangka itu adalah Salahuddin Hassan, yang ipar laki-lakinya adalah kepala kelompok gerakan khusus Kubu Pembebasan Islam Moro (MILF). Pejuang MILF menyangkal menjadi bagian dari serangan tersebut. “Kami percaya serangan merupakan pembalasan untuk gerakan tentara berkelanjutan di Basilan,” kata Detran. Tentara itu, dibantu Pasukan khusus Amerika Serikat, menempur pejuang Moro di pulau Basilan, Pilipina selatan, lebih dari setahun (www.lintasberita.com).

Juni 7, 2008 at 3:48 am Tinggalkan komentar

Bom Meledak di Filipina Selatan

30/5/2008 2:21 WIB

Bom Meledak di Filipina Selatan

Ledakan bom di luar sebuah pangkalan militer di Filipina Selatan menewaskan tiga orang.
Ledakan terjadi hari Kamis (29/5) dekat kota Zamboanga, selagi orang-orang menunggu untuk naik sebuah pesawat angkut militer. Sekurang-kurangnya 28 orang cedera dalam ledakan itu.
Seorang perwira, Kolonel Darwin Guerra mengatakan, bom itu dibungkus dalam sebuah paket dan diledakkan dengan pemicu dari jauh. Ditambahkan, jelas bahwa serangan itu dilakukan teroris.

Belum ada yang mengaku bertanggungjawab atas pemboman itu.
Kawasan Filipina selatan telah selama 40 tahun menjadi ajang bentrokan antara pasukan pemerintah dan pemberontak Islamis yang ingin mendirikan negara Islam merdeka (www.elshinta.com)

Juni 2, 2008 at 2:54 am Tinggalkan komentar

Tentara Filipina Selidiki Pencurian Senjata di Pulau Selatan

Filipina menahan dua tentara dengan tuduhan merampok persenjataan batalion di daerah pemberontakan di pulau Mindanao, Filipina selatan, dan kemudian menuding pemberontak untuk pencurian itu, kata juru bicara tentara pada Senin (26/5).Batalion zeni, yang ditempatkan di daerah Compostela, kehilangan 20 senapan serbu dan satu senapan mesin ringan pada pekan lalu dan dua tentara, yang ditugaskan saat itu, menyatakan gerombolan pimpinan Maois bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Tapi, penyelidikan awal tentara dan polisi menduganya sebagai pekerjaan orang dalam, kata Letnan Kolonel Romeo Brawner. “Pelaksanaannya direncanakan dengan baik. Mereka membuatnya tampak seperti serangan pemberontak komunis, tapi ada tanda dongeng bahwa itu perampokan biasa,” katanya. Sejumlah tentara juga dilarang meninggalkan asrama menunggu pemeriksaan.

Pada Minggu (25/5), dua tentara itu menyatakan diserang ratusan gerilyawan pimpinan Maois, yang mengambil keuntungan besar dan melarikan persenjataan.Filipina melawan pemberontak komunis hampir 40 tahun di 69 dari 81 propinsi di seluruh negara Asia tenggara tersebut.Sengketa itu menewaskan lebih dari 40.000 orang.

Gerilyawan komunis pada pekan lalu menyerang penjara di Filipina selatan dan merampok persenjataan, kata tentara. Penjaga di penjara propinsi Davao Timur di kota Mati dilucuti tanpa perlawanan dan kelompok bersenjata Tentara Rakyat Baru (NPA) itu melarikan lima senapan, dua senapan buru, dua pistol dan tiga radio komunikasi, kata komando divisi Angkatan Darat Filipina di Tahum.

Sekitar 70 pemberontak bersenjata berat terlibat dalam serangan pada tengah hari itu, kata pejabat tentara. Tidak ada laporan tentang korban atau pelarian tahanan dalam serangan tersebut. Itu merupakan serangan kedua terang-terangan NPA atas penjara di Filipina selatan dalam delapan bulan terakhir.

Pada Oktober lalu, gerilyawan komunis menyerang Kumpulan Hukuman Davao di kota Dujale dan mencuri lebih dari 100 senjata api.

NPA adalah gerombolan 5.000 orang bersenjata sayap Partai Komunis Filipina, yang memerangi pemerintah sejak 39 tahun lalu.

Norwegia menjadi tuan rumah perundingan antara pemerintah Filipina dengan pemimpin pemberontakan terlama Maois di Asia Tenggara itu, yang tinggal di pengasingan, kata pernyataan kedutaan Norwegia di Manila pada pekan lalu.

Pernyataan itu mengatakan, kedua pihak bertukar pandangan mengenai kedudukan alur perdamaian dan sepakat bertemu lagi pada tanggal ditentukan kemudian pada akhir tahun ini dan meminta Oslo sebagai tuan rumah perundingan.

Presiden Gloria Macapagal Arroyo menyeru penghentian perundingan perdamaian dengan Partai Komunis Filipina pada empat tahun lalu, dengan menyatakan pemberontak tidak berminat melakukan penyelesaian lewat politik. Norwegia menjadi tuan rumah pertemuan tak resmi antara kedua pihak dalam rangka memulai kembali alur perdamaian itu.

Pemerintah Norwegia dalam lamannya menunjukkan gambar pendiri Partai Komunis Filipina Jose Maria Sison, yang tinggal di pengasingan di Belanda, yang berdampingan dengan wakil pemerintah Filipina Nieves Confesor dan tuan rumah mereka pada saat pembicaraan pada 13-15 Mei Arroyo menetapkan tahun 2020 sebagai tenggat menghancurkan pemberontakan itu.

Pemberontakan tersebut menewaskan puluhan ribu orang dan Arroyo menyatakan itu membuat mundur pembangunan di sebagian besar daerah di Filipina, tempat NPA melancarkan serangan atas sarana niaga sebagai bagian dari siasat gerakan mereka. (www.kapanlagi.com)


Mei 27, 2008 at 3:04 am Tinggalkan komentar

Norwegia Tuan Rumah Perundingan Filipina-Pemberontak Maois

Sabtu, 17 Mei 2008 07:20

Norwegia menjadi tuan rumah bagi perundingan-perundingan antara Filipina dan para pemimpin pemberontakan Maois terlama di Asia Tenggara yang tinggal di pengasingan, kata satu pernyataan yang dikeluarkan kedutaan di sini Jumat (16/5). Pernyataan itu mengatakan, kedua pihak `saling bertukar pandangan mengenai status proses perdamaian` dan telah sepakat untuk bertemu lagi pada tanggal yang ditentukan kemudian pada `akhir tahun ini`, dan meminta Oslo sebagai tuan rumah perundingan.

Presiden Gloria Arroyo menyerukan berhentinya usaha perundingan perdamaian dengan Partai Komunis Filipina empat tahun lalu, seraya menyatakan bahwa pemberontak tidak berminat untuk melakukan penyelesaian lewat politik. Norwegia menjadi tuan rumah pertemuan tak resmi antara kedua pihak dalam rangka memulai kembali proses perdamaian itu.

“Pemerintah Norwegia bertindak sebagai tuan rumah penyelenggara dan pihak ketiga sebagai memfasilitasi perundingan, yang dilakukan atas permintaan kedua pihak,” kata Raymon Johansen, sekretaris negara pada kementerian luar negeri Norwegia, dalam pernyataan yang dikeluarkan kedutaan.

“Norwegia mencari jaminan bahwa upaya-upaya untuk menyelesaikan `konflik-konflik yang hampir terlupakan itu` menerima dukungan internasional yang diperlukan,” katanya menambahkan.

Pemerintah Norwegia dalam laman internetnya menunjukkan gambar pendiri Partai Komunis Filipina, Jose Maria Sison, yang tinggal di pengasingan di Negeri Belanda, yang berdampingan dengan wakil pemerintah Filipina Nieves Confesor dan tuan rumah mereka pada saat konsultasi 13-15 Mei. Tidak ada reaksi dari pemerintah Filipina mengenai hal itu.

Arroyo telah menetapkan tahun 2020 sebagai target untuk menghancurkan pemberontakan yang berumur 39 tahun itu, yang saat ini mempunyai tentara, yakni Tentara Rakyat Baru (NPA) yang didukung 5.000 orang. Pemberontakan telah diklaim telah menewaskan puluhan ribu orang dan Arroyo mengatakan, hal itu membuat mundur pembangunan di sebagian besar daerah di Filipina, di mana pemberontak NPA melakukan serangan bisnis sebagai bagian dari taktik operasi militer mereka. Dalam aksi permusuhan terakhir, seorang polisi tewas dan 12 rekannya cedera dalam serangan NPA di dekat kota Mabini, di pulau selatan Mindanao, kamis (15/5), tutur polisi. (www.kapanlagi.com)

Mei 20, 2008 at 4:59 am Tinggalkan komentar

Libya Kirim Penjaga Perdamaian ke Filipina

Libya akan menambah pasukan penjaga perdamaiannya di Filipina selatan, kata pejabat Filipina pada Senin (12/5), saat Malaysia mulai menarik tentaranya di tengah jalan buntu perundingan perdamaian dengan pejuang Moro.

Presiden Gloria Arroyo meminta Libya membantu saat Malaysia mulai menarik 40 tentara dan polisinya dari pulau Mindanao, Filipina selatan.

Tripoli, yang sudah mempunyai enam pemantau di Mindanao, setuju mengirim 25 orang untuk mengisi kekosongan, yang ditinggalkan pasukan Malaysia, kata Jesus Dureza, penasehat Arroyo untuk perdamaian itu.

Satuan asing kecil penjaga perdamaian memantau gencatan senjata antara Manila dengan Kubu Pembebasan Islam Moro (MILF) sejak 2003 dan dipuji dalam mengurangi bentrok dan ketegangan di daerah itu.

Penyelesaian politik Manila dengan MILF, yang beranggota 12.000 orang, buntu pada beberapa bulan terakhir akibat keluasan wilayah di bawah kendali kelompok pejuang tersebut.

Kualalumpur pada pekan lalu menyatakan tidak akan melanjutkan penempatan tak terbatas di satuan pemantau itu tanpa kemajuan nyata dalam pembicaraan perdamaian tersebut, yang memicu ketakutan akan perang saudara lagi.

“Pemerintah Libya setuju mengirim 25 pemantau gencatan senjata untuk membantu melenggengkan gencatan senjata di Mindanao,” kata Dureza dalam pernyataannya.

Juru bicara kedutaanbesar Libya di Manila tidak dapat dihubungi untuk memberi tanggapan pada Senin (12/5) malam.

Tentara Malaysia pada akhir pekan lalu mulai ditarik dari pulau bergolak Mindanao, kata saksi dan petugas bandar udara.

Penarikan 40 tentara Malaysia dari empat kota di pulau itu akan menyisakan hanya 21 tentara Malaysia di wilayah tersebut.

Satu pesawat angkut tentara terbang ke kota Davao dan General Santos untuk mengambil satuan pemantau gencatan senjata itu, sebelum berhenti di Cotabato dan pelabuhan kota Zamboanga dan kembali ke Malaysia.

Ketua satuan pemantau, Mayor Jenderal bin Yashin Daud, sebelumnya menyatakan, sebagian yang ditinggal di Cotabato segera kembali ke Malaysia saat mereka mengakhiri tugas pada September depan.

Menteri Luar Negeri Malaysia, Rais Yatim, dalam lawatannya ke Filipina belum lama ini menyatakan, berharap ada keputusan yang dapat memberikan kesempatan bagi kedua pihak menilai masalah dalam pembicaraan dalam kaitan alur perdamaian.

Kendati demikian, penarikan tentara Malaysia dikhawatirkan merebakkan kembali pertempuran di Filipina selatan, tempat MILF berperang sejak 1978 dengan tujuan membentuk negara Islam di sepertiga wilayah selatan dari negara kepulauan tersebut.

Filipina pada tengah pekan lalu meminta Malaysia tetap mendukung alur perdamaian di wilayah itu setelah Kualalumpur menarik pemantau mereka dari wilayah bergolak tersebut.

Presiden Gloria Macapagal Arroyo menerima Menteri Luar Negeri Malaysia, Rais Yatim, di istana Malacanang. Setelah itu, Rais melakukan perundingan dengan Menteri Luar Negeri Alberto Romulo.

“Presiden mengucapkan terima kasih kepada pemerintah Malaysia atas segala usaha dan bantuannya kepada kami dalam alur perdamaian di Filipina selatan,” kata pembantu utamanya, Sekretaris Eksekutif Eduardo Ermita kepada wartawan.

Tindakan itu secara luas dianggap sebagai tanda ketidaksabaran atas kelambatan kemajuan perundingan perdamaian antara Manila dengan kelompok pejuang MILF. (kpl/rif-www.kapanlagi.com)

Mei 13, 2008 at 6:18 am Tinggalkan komentar

Weekly News

Sejarah Dan Akar Permasalahan Konflik Di Mindanao Filipina

Maret 28, 2008 by Rebecca Henschke

Front Pembebasan Islam Moro dan pemerintah Filipina akan menandatangi kesepakatan perdamaian pada tahun ini. Kedua belah pihak hampir menyepakati ‘tanah leluhur’ yang diklaim menjadi milik warga Islam.

Namun para pengamat memperingatkan bila perjanjian itu disepakati, penerapannya bakal sulit.

Pasalnya ada banyak tantangan yang datang dari milisi sipil pro-pemerintah, perang saudara berkepanjangan dan jumlah penduduk umat Kristen yang besar di wilayah itu.Rebecca Henshcke menyoroti akar permasalahan perang sipil yang terpanjang di Asia Tenggara dan akan disampaikan oleh Vitri Angreni. Laporan ini seri pertama dari empat seri lainnya mengenai Mindanao.

Inilah wilayah Islam di kota Zamboagna, mayoritas penduduknya beragama Kristen. Di pinggiran laut, rumah-rumah kayu panggung berdempatan, tidak ada toilet dan air bersih yang mengalir juga terbatas.“Warga Islam Bangsamoro yang beragama sangat miskin; Sebagian besar tidak berpendidikan dan tidak punya pengetahuan karena kemiskinan.

Maureen sedang duduk di lantai sebuah sekolah Islam. Dia mengajar bahasa Arab dan agama Islam di tempat ini, sebentar lagi dia akan melahirkan anak pertamanya.“Menurut saya, orang Islam harus kuat, ini penting sekali. Supaya bisa melindungi Bangsamoro karena sebagian orang Amerika ingin menguasai kami.Konflik yang telah berlangsung selama setahun, berawal ketika Amerika menduduki pulau yang subur ini.Ketika Republik Filipina merdeka pada 1946, mayoritas warga Islam Moro di pulau Mindanao, meminta supaya tidak menjadi bagian negara yang baru itu.Namun, permintaan itu diabaikan, kata Dr. Abbas, Ketua Badan Pembangunan Bangsamoro.

“Banyak hal yang terjadi yang membuat rakyat kami menderita. Yang bermula dari bersatunya tanah air Moro dengan negara Filipina tanpa persetujuan rakyat. Akibat kebijakan kolonial, perekonomian Bangsamoro tetap rendah. Sementara, warga dari Luzon dan Visayas menduduki tanah kami.Dulu warga Islam Moro dan suku asli Lumad mengendalikan seluruh pulau ini. Namun jutaan umat Kristen kemudian di pindahkan ke sana, melalui program transmigrasi yang mencapai puncaknya pada masa kediktaktoran Ferdinand Marcos.Pemerintah memberikan hak tanah pada para pendatang itu.

Umat Islam di Filipina mencapai 18 persen dari seluruh penduduk negeri itu, namun 80 persen diantaranya tidak punya tanah.“Semua orang Islam tinggalkan Filipina dan kembali ke Arab Saudi.“ Pendeta Katolik setempat, Romo Lyson, membaca tulisan grafiti dalam sebuah foto, yang diambil pada puncak konflik 2000 lalu.

“Ini sejarah yang disalahartikan. Siapapun yang menulis ini tentunya tidak mengerti sejarah Mindanao yang sesungguhnya.Romo Lyson ingin mengubah salah interpretasi itu melalui jemaatnya di Pikit, yang terletak di Cotabato Utara.“Sampai sekarang hal ini tidak tertulis dalam buku pelajaran. Tapi kami sudah melakukan penelitian, dan kami mengajar warga disini berdasarkan temuan kami. Jadi waktu mereka membacanya mereka bilang, ’saya tidak tahu soal hal itu sebelumnya. Sekarang kami tahu apa yang kami permasalahkan selama ini.

Pada 1972, Front Pembebasan Nasional Moro mengangkat senjata, memperjuangkan hak-hak tanah mereka. Pertempuran berdarah itu terjadi selama 30 tahun. Akibatnya ratusan ribu orang tewas dan yang lainnya kehilangan tempat tinggal mereka. Baru pada 1992, sebuah kesepakatan damai ditandatangi untuk daerah otonomi warga Moro. Kemudian berkembang menjadi wilayah Islam Mindanao atau ARMM di kepulauan Sulu. Pembentukan wilayah itu bertujuan untuk pembangunan dan penentuan nasib sendiri warga Islam di sana. Namun, semua pihak yakin hal itu gagal total. Bahkan para pemimpin Moro mengatakan mereka ditipu dan Manila tidak memenuhi janjinya.Di Basilan, Maya Ali, kepala kantor teknologi dan pembangunan lokal menilai gagasan otonomi itu sebuah lelucon.

“Kami masih tergantung dengan pemerintah nasional termasuk dalam anggaran dan sumber daya nasional kami. Masyarakat ARMM tidak mengatur anggarannya sendiri. Kami masih menunggu dana itu dari pemerintah pusat. Tidak ada otonomi di sini.“ Namun, para pengamat indepnden mengatakan, ini kesalahan pemimpin Moro. Pemerintahaan ARMM tidak bisa menjalankan pemerintahannya dengan baik dan korupsi merajalela. Karena ketidakpuasannya dengan kedua belah pihak, terbentuklah Front Pembebasan Islam Moro (MILF).Salah satu kam pasukan bersenjata M-I-L-F terletak di pegunungan pinggiran kota Cotabato.

Abdul salah satu dari 12.000 personil pasukan itu mengatakan, mereka mengangkat senjatanya karena agama. Menurutnya, dia adalah prajurit Islam dan menjalankan perintah Allah.Sementara itu, MILF menuntut otonomi yang lebih luas. Mereka meminta 1000 desa di Mindanao untuk dimasukkan dalam wilayah Bangsamoro.

Seperti yang diungkap oleh Eid Kabala, juru bicara MILF.“Kami akan punya kewenangan untuk mengeksploitasi sumber daya nasional. Ini sangat penting. Militer harus meninggalkan wilayah ini. Mereka hanya boleh ditempatkan di luar negara Bangsamoro yang baru. Kami tidak ingin bergabung dengan satuan polisi ataupun militer. Kami akan membuat pasukan keamanan sendiri. “

Dr. Abbas menambahkan, mereka semestinya memperkenalkan semacam hukum Syariat Islam.“Kalau sistem yang busuk ini masih mengendalikan kami, sulit sekali bagi kami untuk menjalankan sistem kami. Orang Kristen tidak perlu takut. Kalau kami menjalankan hukum Shariah yang benar-benar Islam, mereka tidak perlu takut. Namun sebagian komunitas Kristen sudah mulai ketakutan, akibatnya militer mengatakan tidak akan meninggalkan tempat itu. Namun, Romo Lyson khawatir, bila pemerintah tidak memberikan hak-hak itu kepada para pemimpin Islam, malah akan menimbulkan kekerasan (www.voa.com)

 

April 1, 2008 at 11:00 am Tinggalkan komentar

Weekly News

20/Maret/2008

Ledakan Granat di Filipina, 3 Tewas



Manila (ANTARA News) –

Ledakan granat menewaskan tiga orang dan 19 orang lainnya cedera di Filipina selatan, Sabtu.
Kejadian tersebut terjadi di provinsi Davao del Sur ketika berlangsungnya suatu acara disko pada pukul 10.00 malam waktu setempat, televisi Filipina GMA New melaporkan.
Investigasi awal menunjukkan bahwa Reto Pelonio, anggota organisasi relawan sipil, yang dilaporkan mabuk pada saat itu, melemparkan sebuah granat ketika berlangsung acara dansa.
Polisi mengatakan kemungkinan Pelonio menaruh granat itu di sakunya dan meledak karena di sana tidak terdapat lubang di tempat ledakan, demikian Xinhua.(www.antara.co.id)

Maret 22, 2008 at 6:35 am Tinggalkan komentar

Weekly News

Ribuan Orang Mudik Paskah di Filipina

Kamis, 20 Maret 2008 | 13:33 WIB

MANILA, KAMIS- Filipina mengerahkan tambahan lebih dari 120.000 personel untuk mengamankan perayaan paskah di negeri mayoritas Katolik itu. Polisi bersama tentara juga dikerahkan di sejumlah tempat umum, seperti terminal bus. Selain mencegah kriminalitas, personel polisi dan tentara itu juga membantu warga yang akan mudik ke kampung-kampung halamannya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, libur paskah bagi warga Filipina merupakan hari mudik ke kampung halaman untuk bertemu keluarga dan merayakan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus bersama.Hari Kamis (20/3) ini, ribuan orang mulai berbondong-bondong ke terminal bus untuk memulai hari pertama libur empat hari Paskah.

Berkait dengan ritual penyaliban yang biasa dilakukan di sejumlah tempat, pimpinan umat Katolik Filipina telah mengimbau agar hal itu tidak dilakukan. Hari Rabu kemarin, Uskup Agung San Fernando City, Paciano B. Aniceto di Provinsi Pampanga menyatakan ketidaksetujuannya dengan ritual penyaliban secara langsung itu.

Menurut dia, pengampunan tidak harus dilakukan dengan drama penyaliban secara langsung. “Dan saya biasanya mengimbau untuk tidak dilakukan,” kata Aniceto dalam sebuah pernyataan yang diposting ke situs Konferensi Waligereha Filipina.

Untuk mengenangkan kisah sengsara Yesus, sebagian umat Katolik Filipina biasa memeragakan kisah itu, lengkap dengan menyalibkan si pemeran Yesus. Dalam drama yang biasa dilakukan pada hari Jumat Agung itu, dua telapak tangan si pemeran Yesus dipentang di kayu salib, kemudian dipaku.

Hari Kamis ini, Sekretaris Kementerian Kesehatan Francisco Duque mengingatkan bahwa ada kemungkinan si pemeran Yesus akan terinfeksi tetanus akibat penyaliban itu. Kalau pun akhirnya penyaliban harus dilakukan, ia mengimbau agar paku yang digunakan sudah disterilkan terlebih dahulu (www.kompas.com)

 

Maret 22, 2008 at 6:01 am Tinggalkan komentar

Weekly News

07/03/08 14:33

Gerilawan Serang Tempat Penambangan di Filipina

Manila (ANTARA News) – Pemberontak Komunis telah menyerang sebuah tempat penambangan di bagian selatan Filipina, membakar peralatan berat dan merampas senjata dari penjaga keamanan, kata para pejabat, Jumat.

Sekitar 50 gerilyawan menyerbu Apex Mines di kota Maco, Compostela Valley, 960 km selatan Manila, Kamis petang, kata Kepala Polisi inspektur Adolfo Eyan.

Tidak seorang pun terluka dalam serangan itu, namun para gerilyawan membakar beberapa peralatan penambangan.

Jurubicara Angkatan Darat Letnan Kolonel Colonel Benito de Leon mengatakan para gerilyawan juga menambakkan senjata api dari pos keamanan perusahaan itu.

“Mereka melucuti pos keamaman itu dan mengambil lima senjata M16, beberapa pistol dan revolver,” katanya.

Polisi dan tentara dikerahkan untuk mengejar para gerilyawan tersebut.

Apex, yang sebagian sahamnnya dimilili London Crew Gold Minerals yang berpusat di London, telah memiliki izin untuk melakukan penambangan sekitar 1.000 hektar di kota itu.

Serangan itu merupakan kejadian terkini yang dilancarkan oleh pemberontak komunis di bagian selatan Filipina.

Bulan silam, pemberontak komunis juga menggempur instalasi pemrosesan emas di dekat kota Monkayo, Compostela Valley, menewaskan dua aparat keamanan.

Di tengah meningkatnya serangan, pemerintah Filipina telah mengumumkan rencana membentuk pasukan pertahanan investasi untuk mengawal tempat-tempat penambangan, fasilitas instalasi listrik dan infrastruktur lainnya yang kerap menjadi sasaran gerilyawan.

Militer juga telah mulai melatih milisia pemerintah untuk membantu mengamankan tempat penambangan terhadap serangan gerilyawan.

Pasukan angkatan darat juga menyediakan senjata bagi milisia, namun perusahaan – perusahaan itu yang membayar gaji mereka, demikian DPA.(www.antara.co.id)

Maret 11, 2008 at 12:17 pm Tinggalkan komentar

Weekly News

 March 8, 2008 

Ancaman People Power Ketiga di Filipina

By Goenawan Lee posted on Mar 5th, 2008

Dua puluh dua tahun sudah berlalu sejak demonstrasi massal tanpa kekerasan yang menumbangkan Ferdinand Marcos di Filipina. Peristiwa yang dikenal dengan nama People Power atau Revolusi EDSA itu terjadi di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA), sebuah jalan di Manila yang merupakan salah satu sentra terpenting di Filipina. Tahun 2001, aksi serupa terjadi kembali, ratusan ribu rakyat Filipina turun ke jalan menuntut mundurnya Joseph Estrada yang terjegal kasus korupsi.

EDSA

Rezim otoriter Ferdinand Marcos berakhir tahun 1986 setelah lebih dari 200.000 rakyat Filipina yang didukung oleh beberapa tokoh politik dan disokong oleh mayoritas pihak militer turun ke jalan selama 4 hari berturut-turut menuntut turunnya Marcos. Selama 20 tahun rezim Marcos berkuasa, rakyat sudah tidak percaya lagi kepada pemerintahannya. Gejolak mulai meningkat setelah peristiwa pembunuhan tokoh oposisi Benigno Aquino sepulang dari pengasingannya di Amerika Serikat pada tahun 1983. Aksi massa dimulai ketika timbul kecurigaan adanya kecurangan pada pemilihan umum yang dimenangkan oleh Marcos pada tahun 1986. People Power berhasil, dan Corazon Aquino naik menjadi presiden berikutnya.

Sekali lagi aksi massa terjadi. Tahun 2001 presiden Joseph Estrada terpaksa mundur karena People Power kedua di jalan EDSA. Estrada yang terkena kasus korupsi ratusan juta Peso dari permainan ilegal dan pajak dituntut mundur oleh sebagian anggota senat. Aksi massa selama 4 hari akhirnya mampu membuat Estrada mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan presiden kepada wakil presiden saat itu, Gloria Macapagal Arroyo.

Pemerintahan Arroyo pun tidak lepas dari kasus korupsi. Parahnya korupsi di kalangan pejabat pemerintah, terlebih lagi ketika kasus korupsi yang melibatkan suami Arroyo, Jose Miquel Arroyo, terkait suap senilai 330 juta US Dolar dengan perusahaan dari Tiongkok, ZTE Corporation, ditambah dengan dugaan kecurangan pemilu 2004 yang dilakukan Arroyo membuat rakyat semakin tidak percaya pada pemerintahan Arroyo dan banyak pihak memintanya untuk mundur.

25 Februari 2008, bertepatan dengan peringatan 22 tahun People Power pertama, sekitar 6.000 demonstran yang disokong koalisi anti-pemerintah melakukan aksi dengan menyerukan Arroyo agar segera mundur. 22 Februari sebelumnya juga 10.000 demonstran memenuhi Manila. Dan pada 29 Februari 2008, di Makati City hampir terjadi People Power ketiga ketika 80.000 rakyat turun ke jalan. Aksi ini menjadi pro-kontra di kalangan rakyat sendiri, karena menurut pihak Konferensi Uskup-Uskup Katolik Filipina (CBCP), aksi ini ditujukan sebagai doa dan aksi bersama melawan korupsi, namun akhirnya menjadi arus anti-Arroyo karena ikutnya Corazon Aquino dan Joseph Estrada sebagai pihak oposisi. Meskipun gagal, pihak oposisi menyerukan akan ada aksi 100.000 massa di jalan EDSA atau pusat kota Manila lainnya nanti untuk menurunkan Arroyo.

Ada perbedaan signifikan antara keberhasilan People Power pertama dan kedua dengan sulitnya terjadi People Power ketiga. Pertama, dukungan pihak militer yang terjadi saat 2 People Power sebelumnya tidak ada saat ini. Pihak militer memilih netral dan tidak terlibat aksi-aksi menuntut turunnya Arroyo. Dengan tidak adanya dukungan dari militer, pihak oposisi akan kesulitan untuk melakukan aksi damai karena dikhawatirkan akan terjadi bentrokan antara demonstran dengan polisi dan tentara yang bertugas menjaga keamanan. Selain itu, sumbangan dukungan dari militer juga diperlukan untuk menekan pemerintah. Kedua, tidak adanya dukungan langsung dari Konferensi Uskup-Uskup Katolik Filipina (CBCP). Di sini CBCP hanya mengeluarkan pernyataan mengecak tindakan korupsi dan mendukung perang terhadap korupsi, namun tidak secara langsung menuntut mundurnya Arroyo. Dukungan CBCP sengat diperlukan, karena suara dari CBCP mampu mengajak rakyat, terutama pihak gereja dan rohaniawan untuk turut bergabung. Belum lagi CBCP juga memiliki peran penting dalam politik Filipina. Dengan absennya militer dan CBCP, diprediksikan People Power ketiga akan sulit terjadi. Pihak oposisi juga menyatakan berkurangnya semangat People Power di kalangan rakyat, dengan menurunnya jumlah demonstran yang turun sejak People Power pertama.

People Power adalah bentuk kekuatan rakyat yang mampu menumbangkan penguasa. People Power juga merupakan salah satu simbol demokrasi. Aksi ini tidak dapat terjadi apabila semua elemen rakyat tidak bersatu padu, jelas merujuk pada People Power ketiga yang sulit terjadi karena tak ada dukungan militer dan CBCP. Selain itu, kekerasan dan kerusuhan jelas-jelas bukan bagian dari People Power.

People Power terbukti dua kali menunjukkan keperkasaannya. Dan sungguh mengagumkan memang, aksi tersebut dilakukan secara damai tanpa ada tindakan-tindakan anarkis. Sungguh berbeda ketika rakyat Indonesia turun ke jalanan menuntut mundurnya presiden Soeharto pada tahun 1998. Terlebih lagi di Indonesia, berbeda dengan di Filipina. Jika di Filipina pihak militer mendukung dan berada di belakang rakyat, sebaliknya terjadi di Indonesia. Militer yang berhadap-hadapan dengan para demonstran. Belum lagi isu-isu SARA yang merebak sehingga aksi-aksi kerusuhan, pembakaran, penjarahan tidak terelakkan lagi.(www.gunawanrudy.com)

 

Phillipines News

Killing of Philippine Journalists: No Masterminds Convicted

March 01-2008Posted by Jane Abao

The Supreme Court Chief Justice Reynato Puno egged on conference participants to bond together “in defense of freedom of the press,” warning that “an enforced silence” about the situation “cannot but give impetus to its growing culture of impunity.”Puno was speaking at the conclusion of an international conference on “Impunity and Press Freedom” at The Peninsula Manila launched on February 29.The Center for Media Freedom and Responsibility CMFR), co-organizer of the conference, had listed 71 journalists killed in the line of duty since democracy was restored in the country in 1986. Of these, 54 happened under the administration of President Gloria Macapagal-Arroyo, although only 34 are work-related.The State of Press Freedom Report 2007 prepared by CMFR noted that 90 percent of those killed were exposing government corruption.There have been few arrests, and zero conviction of the masterminds behind the murders, the CMFR further noted.”That’s what impunity means,” said Roby Alampay, executive director of the Bangkok-based Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) that also co-organized the conference with support from the New York-based Committee to Protect Journalists (CPJ) and the Open Society Institute (OSI).(www.topix.com/world/philippines)

The armed forces of the President, not the People

Mrach 1, 2008-Posted by Jane Abao

The media reported the thousands of outraged citizens who attended the massive gathering in Makati to manifest their outrage against Ms Arroyo and her gang of liars. But there were equally indignant citizens who could not do so because they were not allowed by the hypocritical soldiers.Entry points to the great gathering of indignant citizens in Makati were blocked by the soldiers and policemen under the orders of their commander in chief. Thousands of Filipinos who wanted to join the angry protest were barred by the Armed Forces for shallow and stupid excuses.The people were merely intending to add their voices to the indignant outcry against Ms Arroyo, her husband and their children, the blowhards in the Cabinet, the team who abducted Rodolfo Lozada and threatened his life, Mike Defensor who gave him P50,000 and Manuel Gaite who loaned him P500,000 supposedly from their own pockets and out of the goodness of their bleeding hearts.But the people were denied this constitutional right by the AFP. Filipinos who could not exhibit their identification cards were denied free passage. In another entry point, the road was blocked by a big bus that the soldiers said could not be moved because of engine trouble.(www.topix.com/world/phillippines)

 

Maret 4, 2008 at 7:32 am Tinggalkan komentar

Older Posts


Kategori

  • Blogroll

  • Feeds